TANTANGAN DA’WAH KONTEMPORER
Kasus Liberalisasi Pendidikan Islam
di Pendidikan Tinggi
Oleh:
Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Studi Pendidikan Islam--Program Pasca Sarjana
Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Rasulullah saw bersabda: “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa
anfusikum wa alsinatikum”. (Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan
hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu).
(HR Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang sangat
kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih).
*****
Pada tahun 2009 terbit buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif
(terbit pertama Oktober 2009). Penulisnya Sumanto Al
Qurtuby. Buku ini merupakan
kumpulan artikel yang salah satunya diberi judul Agama, Seks, dan Moral”. Penulis buku ini adalah alumnus Fakultas
Syariah IAIN Semarang yang sekarang sedang mengambil program doktor di Boston
University, AS, bidang antropologi politik dan agama. Melalui artikel itulah,
kita bisa menyimak secara jelas apa yang dimaksud dengan gagasan Islam
progresif, yang belakangan sering dilontarkan dan dianggap sebagai pemahaman
Islam yang seharusnya dianut umat Islam.
Buku ini secara terang-terangan
menghalalkan praktik seks bebas, yang penting dilakukan dengan suka rela, tanpa
paksaan. Simaklah pendapat penulis tentang seks bebas (perzinahan) dan
pelacuran: ”Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan
atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi”
dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks
dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call
girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda
atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks?
Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan
honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk mencari
nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul untuk
mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan
untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan
yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?”
Penulis juga mengecam MUI karena memperjuangkan UU
Pornografi dan Pornoaksi. Katanya lebih lanjut:
”Demikian juga jika kita masih
meributkan soal kelamin – seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan
UU Pornografi dan Pornoaksi – itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas
keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh
dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama
vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping,
ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya
”mengakomodasi” bukan ”mengeksekusi”
fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan
karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.”
Bagi kita yang Muslim dan normal, pendapat seperti
ini jelas amat sangat salah. Tentu kita patut bertanya, bagaimana seorang
lulusan fakultas syariah bisa menjadi seperti itu? Kita yakin, paham itu tidak
diajarkan di kampusnya. Mungkin dia mendapatkan dari luar kampus. Tetapi,
ketika menjadi mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang, ia pernah memimpin
sebuah Jurnal bernama Justisia – yang
terbit atas izin pimpinan Fakultas – yang isinya sangat anti syariat Islam,
termasuk secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis. Tahun 2004, Jurnal Justisia menulis sebuah “cover story” dengan judul “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dikatakan di pengantar Jurnal
ini, bahwa: “Hanya orang primitif saja
yang yang melihat perkwinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan
berbahaya.”
Mengapa jurnal yang dalam berbagai
edisinya sangat melecehkan al-Quran dan syariat Islam bisa terbit dengan bebas
di sebuah kampus yang menyandang nama Islam?
Ada yang menyatakan, bahwa yang semacam ini, hanya oknum saja. Tetapi, faktanya,
oknum itu dibiarkan secara bebas menyebarkan opininya, juga menggunakan nama
kampus. Mengapa sebuah lembaga pendidikan yang menyandang nama Islam membiarkan
berbagai pemikiran yang menyimpang -- bahkan yang melecehkan Islam --
berkembang?
Jawabannya: sebenarnya telah berlaku
sebuah proses liberalisasi secara sistematis terhadap Perguruan Tinggi
Islam. Dan itu diakui sendiri oleh para
pelaku dan pengambil kebijakan dalam Pendidikan Islam. Simaklah sebuah buku
berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama.
Dalam buku ini, Prof Azyumardi Azra, yang saat
itu masih menjabat Rektor UIN Jakarta,
menyatakan: “Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan
Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islamyang diajarkan adalah Islam yang
liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan
mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan
metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji
agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu
perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”
“Jika di pesantren mereka memahami dikotomi ilmu: Ilmu Islam (naqliyah
dan ilmu keagamaan) dan ilmu umum (sekuler dan duniawiah), maka di IAIN
merekadisadarkan bahwa hal itu tidak ada. Di IAIN mereka bisa memahami bahwa
belajar sosiologi, antropologi, sejarah,
psikologi, sama pentingnya dengan belajar ilmu Tafsir al-Quran. Bahkan
ilmu itu bisa berguna untuk memperkaya pemahaman mereka tentang tafsir. Tetapi,
IAIN tidak mengajarkan apa yang sering disebut dengan “islamisasi ilmu
pengetahuan” sebab semua ilmu yang ada
di dunia ini itu sama status dan arti pentingnya bagi kehidupan manusia.”
Dalam buku ini juga dipaparkan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah
menjadi lembaga akademis: “Sebagai
lembaga berafiliasi kepada agama, IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah
Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehingga
orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan
dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IAIN
sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya
lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam. Karena IAIN
sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul oleh
IAIN adalah tanggung jawab akademis ilmiah.” (hal. x).
Menurut buku ini, kepulangan para dosen IAIN
dari pusat-pusat studi Islam di Barat telah mengubah metodologi dalam
mempelajari Islam, sebagaimana yang diajarkan guru-guru mereka (para orientalis)
di Barat. Metode itu sangat berbeda dengan metode belajar Islam yang
dikembangkan oleh para ulama Islam di masa lalu. Disebutkan lebih jauh: “Salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang
oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari studi mereka di McGill University
secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda
dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai
kecenderungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya, tradisi
keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi
maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa
lebih kritis sekalipun terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri.
Disamping aspek metodologis itu, pendekatan sosial empiris dalam studi agama
juga dikembangkan.” (hal. xi).
Kemudian,
sebagaimana diceritakan dalam buku ini pula, liberalisasi Islam yang dimulai
dari pasca sarjana UIN Jakarta – yang dipimpin oleh Prof. Harun Nasution –juga
dikembangkan ke Perguruan Tinggi Umum melalui dosen-dosen agama yang diberi
kesempatan untuk mengambil S2 dan S3 di IAIN Jakarta. “Dosen-dosen mata kuliah agama di perguruan tinggi umum dipersilakan
mengambil program S2 dan S3 di IAIN Jakarta,
dimana Harun Nasution bertindak sebagai direktur. Dari sinilah kemudian paham Islam rasional dan liberal yang
dikembangkan Harun Nasution mulai berkembang juga di lingkungan perguruan
tinggi umum.” (hal. 66). (Cetak miring dan tebal, dari saya/Adian Husaini).
Karena dianggap berjasa besar dalam meliberalkan
IAIN itulah – seperti pengakuan buku yang ditulis oleh sejumlah dosen UIN
Jakarta ini -- maka di UIN Jakarta, sosok dan pemikiran Harun Nasution terus
dipuja. Buku-bukunya dijadikan pegangan. Jangan heran, jika paham Islam
Rasional, liberal, atau progresif, terus diajarkan, digaungkan, dan disebarluaskan ke tengah masyarakat.
Peran pusat Studi Islam McGill Kanada yang didirikan oleh Prof.
Wlfred Cantwell Smith dan Prof. Dr. Harun Nasution dalam
liberalisasi/westernisasi pendidikan Islam juga ditegaskan oleh Departemen
Agama melalui sebuah buku berjudul Paradigma
Baru Pendidikan Islam, yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi
Islam – Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI tahun 2008. Ditulis dalam buku ini: ”Melalui
pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat masif dari
seluruh Indonesia,
berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang tradisional studi
Islam ke arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang paling menyolok
terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan tingkat
grass root.”
Tentang peran Harun Nasution dalam pembaratan IAIN ditulis dalam
buku ini:
”Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran
keislaman. Dia mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat
konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat
kuat di kalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan
sampai sekarang.” (hal. 7)
Untuk melakukan pembaruan pemikiran Islam di IAIN,
Harun Nasution mencari akar pembenarannya dalam teologi rasional ala Mu’tazilah
dan mengenalkannya kepada masyarakat lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan
program pascasarjana IAIN Jakarta. ”Selama menjadi rektor (1973-1984) dan
setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai Direktur pada program studi lanjutan
pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution mengembangkan pemikiran Islam
rasional dan menjadikan program S1 dan pasca sarjana IAIN Jakarta sebagai agen
pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan
keislaman yang baru.” (hal. 8).
Pada
14 Desember 2009, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Jakarta memberikan “Penghargaan FISIP 2009” kepada tiga cendekiawan
Prof Dr Harun Nasution, Prof Dr Nurcholish Madjid, dan Fachry Ali MA. Tiga cendekiawan itu dianggap layak menerima
penghargaan karena telah meletakkan dasar-dasar pendekatan ilmu sosial dalam
studi keagamaan di Indonesia, khususnya di kalangan perguruan tinggi Islam di
Indonesia. “Kontribusi dan sumbangan mereka sangat besar dalam perkembangan pemikiran
keislaman dan kemodernan. Mereka memperkenalkan pendekatan ilmu-ilmu sosial
dalam mendekati masalah-masalah keagamaan,” kata Prof. Dr. Bahtiar Effendy.
*****
Sebagai Muslim, kita tentu berhak untuk heran,
mengapa para dosen perguruan Tinggi Islam ini sangat bangga mengadopsi metode
studi Islam ala orientalis. Para orientalis itu, meskipun tahu sebagian ajaran Islam,
tetapi tetap tidak mau beriman. Mereka mengembangkan studi agama berbasis pada skeptisisme
dengan dalih “pluralistic approach”.
Metode ini tidak mengarahkan mahasiswa untuk meyakini kebenaran satu pendapat. Pada
akhirnya metode netral agama dalam studi Islam semacam ini hanya merugikan masa
depan studi Islam dan Perguruan Tinggi Islam itu sendiri, karena dapat melahirkan
sarjana-sarjana yang bangga dalam keraguan dan kebingungan serta tidak meyakini
kebenaran Islam.
Dalam
disertasinya di Monash University,
Australia, yang membahas perkembangan paham “neo-modernisme” di Indonesia, Dr.
Greg Barton memaparkan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a)
Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan
pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme
agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi
non-sektarian negara. (Lihat, Greg Barton,
Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1999:xxi). Kontekstualisasi ijtihad kini digencarkan dan disistematisasikan dengan penggunaan metode hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Ilmu Tafsir yang selama ratusan tahun digunakan oleh kaum Muslim dalam menafsirkan al-Quran, mulai digusur dengan hermeneutika yang biasa digunakan kaum Yahudi dan Kristen liberal untuk menafsirkan Bibel. Dalam liberalisasi keilmuan Islam, dilakukan proses penghancuran otoritas keilmuan terhadap para ulama Islam. Posisi ulama Islam disamakan dengan posisi kaum orientalis.Padahal, ada perbedaan yang sangat mendasar dalam konsep pengakuan otoritas keilmuan, antara Islam dengan Barat. Islam memasukkan unsur iman dan akhlak dalam penentuan otoritas keilmuan seseorang. Dalam Islam, seorang ulama harus berilmu tinggi dan sekaligus berakhlak mulia. Jika ada ulama yang bejat moralnya atau tukang bohong, maka dia tidak patut dijadikan sebagai sumber ilmu. Konsep keilmuan seperti ini tidak berlaku di Barat. Seorang ilmuan hanya diukur berdasarkan kecerdasannya; bukan moralnya. Banyak ilmuwan Barat yang tetap dijadikan rujukan dalam keilmuan dan kehidupan, meskipun perilakunya bejat.
Banyak ilmuan besar Islam yang tetap
memelihara sikap adil dan beradab dalam mengkaji dan menyebarkan ilmu kepada
masyarakat. Dalam tradisi
ilmu hadits hal itu
sangat
terpelihara. Seseorang belum berani menyiarkan satu hadits, jika belum mendapat
izin dari gurunya. Dunia keilmuan Islam juga menjunjung tinggi akhlak dan moralitas.
Seseorang yang didapati bermoral jahat tidak dipercaya lagi periwayatannya. Ini
tentu sangat berbeda dengan tradisi keilmuan di Barat.
Sebagai
satu peradaban besar yang masih bertahan hingga kini, Islam memiliki akar
sejarah dan tradisi keilmuan yang khas. Biasanya setiap peradaban
Para ilmuwan Muslim terdahulu juga bersentuhan dengan
pemikiran dari kebudayaan asing, dan mereka juga mengadopsi dan mengadapsi
pemikiran asing. Tapi tentu sesudah mereka menguasai benar tradisi intelektual
dalam pandangan hidup Islam. Sehingga yang terjadi justru Islamisasi
konsep-konsep asing. Demikian pula para pemikir Barat. Mereka mengambil
pemikiran para cendekiawan Muslim dalam berbagai bidang, tapi kemudian mereka
transfer kedalam pandangan hidup Barat dan terjadilah pembaratan atau
sekularisasi.
Karena itu, sebenarnya salah satu tugas Pendidikan Tinggi Islam yang penting adalah melakukan penguatan terhadap metode dan sistem keilmuan Islam, dan pada saat yang sama, melakukan kajian yang serius terhadap pemikiran-pemikiran Islam, untuk diletakkan dan dinilai dalam perspektif Islamic worldview. Sebagai contoh, yang benar adalah “Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif al-Quran”, bukan “al-Quran dalam Perspektif Kesetaraan Gender”. Yang benar adalah “Konsep Gender dalam Perspektif Fiqih Islam; bukan “Fiqih Berbasis Gender”, “Tafsir Berbasis Gender”, dan sebagainya.
Harusnya, Perguruan Tinggi Islam menjadi pusat Islamisasi Ilmu-ilmu kontemporer, bukan justru menggunakan metode Barat untuk menilai konsep-konsep Islam. Konsep Pluralisme Agama, Inklusivisme, moderatisme, Kesetaraan Gender, Rasionalisme, dan sebagainya, harusnya diletakkan dan dinilai dalam perspektif Islam; bukan malah sebaliknya. Inilah tugas besar kaum Muslim, khususnya para ilmuwan Muslim, yang harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam merupakan salah satu tantangan dakwah yang sangat serius yang dihadapi umat Islam saat ini. Sebab, dari Perguruan Tinggi Islam lahir calon-calon pimpinan Ormas Islam, dosen dan guru agama, hakim agama, pimpinan MUI, dai, mubaligh, khatib, dan sebagainya. Guru-guru di sekolah-sekolah Islam dan juga pesantren-pesantren, tidak sedikit yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi Islam, yang kurikulumnya sudah disesuaikan dengan metode Barat. Berawal dari pendidikan yang keliru inilah, maka banyak lahir ilmuwan-ilmuwan yang memiliki pemikiran yang keliru pula. Inilah salah satu jenis kemunkaran besar yang dihadapi umat Islam saat ini.
Salah satu kewajiban penting yang diamanahkan oleh Rasulullah
saw kepada kaum Muslim adalah “al amru
bil ma’ruf wa al-nahyu ‘anil munkar” (memerintahkan yang ma’ruf dan
mencegah kemunkaran). Secara umum, kaum Muslim wajib mendukung tegaknya
kebaikan dan melawan kemunkaran. Tugas ini wajib dilakukan oleh seluruh kaum
Muslimin, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sebab, Rasulullah saw sudah
mengingatkan, agar siapa pun jika melihat kemunkaran, maka ia harus mengubah
dengan tangan, dengan lisan, atau dengan hati, sesuai kapasitasnya.
Dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali
menekankan, bahwa ativitas “amal ma’ruf dan nahi munkar” adalah kutub terbesar
dalam urusan agama. Ia adalah sesuatu yang penting, dan karena misi itulah,
maka Allah mengutus para nabi. Jika aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar’ hilang, maka syiar kenabian hilang, agama
menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan
binasa. Begitu juga umat secara
keseluruhan.
Allah SWT berfirman, yang
artinya: “Telah dilaknat orang-orang
kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putra Maryam. Yang demikian
itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain
selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah: 78-79). Jadi, karena tidak melarang tindakan munkar
diantara mereka, maka kaum Bani Israel itu dikutuk oleh Allah. Rasulullah saw
juga memperingatkan: “Tidaklah dari satu
kaum berbuat maksiat, dan diantara mereka ada orang yang mampu untuk
melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah
meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi,
dan Ibnu Majah).
Maka, langkah pertama
setelah menyadari begitu pentingnya melakukan perlawanan terhadap kemunkaran,
adalah memahami tentang ‘kemunkaran’ itu sendiri. Yang mana yang dimaksud
dengan munkar. Kemudian, setelah paham, sesuai dengan ‘fiqhul awlawiyyat’ (fiqh prioritas), dilakukan pemetaan dan skala
prioritas, kemunkaran mana yang wajib diperangi terlebih dulu. Saat ini begitu
banyak kemunkaran bertebaran di muka bumi.
Tentu saja, kemunkaran terbesar dalam pandangan Islam, adalah kemunkaran di
bidang aqidah Islamiyah. Yakni, kemunkaran yang mengubah dasar-dasar Islam.
Inilah kemunkaran yang berawal dari kerusakan ilmu-ilmu Islam, yang menyangkut
asas-asas pokok dalam Islam. Kemunkaran jenis ini jauh lebih dahsyat dari
kemunkaran di bidang amal. Dosa orang yang mengingkari kewajiban salat lima
waktu, lebih besar daripada dosa orang yang meninggalkan salat karena malas,
tetapi masih meyakini kewajiban salat. Dosa orang yang menjadi pelacur masih
lebih ringan dibandingkan dengan orang yang mengkampanyekan paham, bahwa
menjadi pelacur adalah tindakan mulia. Karena itu, adalah merupakan tindakan
kemunkaran yang sangat serius, ketika seorang mahasiswi sebuah kampus Islam di
Yogyakarta menerbitkan buku berjudul “Tuhan,
Ijinkan Aku Menjadi Pelacur”.
Kemunkaran ilmu merupakan
kemunkaran yang terbesar dalam perspektif Islam. Sebab, jika ilmu salah, maka akan muncul ulama
yang salah. Jika ulama salah, maka umara (penguasa) dan umat pun akan salah.
Kemunkaran ilmu adalah sumber kesalahan asasi dalam Islam. Ilmu yang salah
mengacaukan batas antara al-haq dan al-bathil. Orang yang bathil tidak
menemukan jalan untuk bertaubat, sebab dia merasa apa yang dilakukannya adalah
tindakan yang baik.
Kemunkaran ilmu membutuhkan pemahaman yang agak
rumit. Para ulama kita dulu – disamping menguasai dengan baik ajaran-ajaran
Islam – juga menguasai dengan baik-baik paham-paham atau ilmu-ilmu yang munkar.
Mereka bukan saja menulis tentang Islam, tetapi juga menulis apa yang
membahayakan atau menyerang Islam. Karena memang antara haq dan bathil akan selalu terjadi konfrontasi.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, misalnya, disamping menulis ratusan kitab di
bidang aqidah, syariah, dan akhlaq, beliau juga menulis tentang hal-hal yang
bertentangan dengan Islam. Beliau menulis kitab yang sangat tebal berjudul ”Al-Jawab al-Shahih liman Baddala Din
al-Masih” (Jawaban yang Benar terhadap Orang Yang Mengubah Agama al-Masih).
Pemahaman beliau tentang masalah Kristen sangat mendalam. Di masa lalu, para
ulama kita mempelajari dengan sangat mendalam paham-paham yang berkembang
ketika itu. Imam Syahrastani menulis Kitab yang sangat fenomenal hingga saat
ini, yaitu ”al-Milal wal-Nihal”, yang
diakui sebagai Kitab perbandingan agama pertama.
Setiap zaman, umat Islam
menghadapin tantangan dakwah yang khas. Umat Islam wajib menjawab tantangan
dakwah itu dengan tepat. Nabi Muhammad saw memberikan suri teladan yang sangat
tinggi, bagaimana beliau menyiapkan kader-kader umat yang unggul dalam berbagai
bidang kehidupan. Abu Harits al-Hasbi
al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang
berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa
Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi”
sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan
neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat
lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).
Wallahu a’lam bil-sahawab
Depok, 30 Maret 2011